Wednesday, January 17, 2007

[ibroh idul adha]: RISALAH AGUNG

RISALAH AGUNG

Risalah itu terasanya terlalu agung -untuk ditolak- sungguhpun oleh manusia sedemikian jaguh. Sungguhpun kemarahan membara sebelumnya, risalah itu menyiram ketenangan akhirnya. Darah sang adik ipar belum pun kering, namun risalah itu menyingkapkan keagungannya. Akhirnya, Umar sang putera al-Khattab pun menemui kepasrahannya.

Demikianlah salah satu riwayat, dari sekian banyak riwayat, tentang pengislaman saidina Umar (R.A), sepertimana yang dinukilkan Syeikh Mubarakfuri di dalam Rahiqul Makhtum-nya [1]. Walau apa pun riwayatnya, semuanya sepakat pada kata kunci kesedaran Umar: keagungan risalah al-Quran al-Karim, atau, menurut bahasa Syed Qutb [2]; keajaiban al-Quran yang mempersona.

Kes yang sama seakan menimpa seorang lagi Umar, kali ini mursyidul am-nya Ikhwan (Ikhwanul Muslimin) yang ketiga, Umar Tilmisani, tatkala dihidangkan dengan keagungan dan kehebatan risalah dakwah. Selesai bertemu saja dengan as-Syahid Hassan al-Banna, ia terasa ketarikan dan keterikatan yang mendalam pada perjuangan risalah Islam yang suci, sebagaimana yang lainnya, yang tentunya akan pantas merasa terlalu kerdil untuk risalah yang sedemikian agung ini.

Lalu, jika risalah sedemikian agung ini, bisa melunakkan hati sekeras seorang Umar –atau dua orang Umar- apakah pantas risalah seagung ini menjadi bahan reject buat jiwa sekerdil kita? Justeru ini nikmat buat kita, nikmat yang hanya bisa dirasai –setelah sekian banyak tahun- oleh orang-orang seperti Cat Stevens, atau Muhammad Ali, atau Malcom X, atau Shah Kirit, dan lain-lainnya. Namun, demikian mereka meraih kepasrahan mereka, pantas terulang ungkapan seorang Umar, di saat menemui hakikat keagungan-Nya; “Wahai Rasulullah, tidakkah kita berada di atas kebenaran? [4]” Lalu, untuk apa kita tetap terus “menyembunyikan” keagungan risalah ini?

Keagungan risalah sering menghantarkan peneduhnya kepada kesungguhan dan tanggungjawab yang besar. Walau di balik segenap kelemahan, kekurangan dan kecacatan kita, justeru yang kita perjuangkan bukan imej dan kata-kata diri kita, tetapi keagungan dan kemuliaan risalah Islam ini. Sehingga hidayah ini telah menemukan, seorang anak nakal bernama Cahyadi Takriawan, untuk kemudiannya dimuliakan dengan pelbagai amanah, semuanya demi perjuangan Islam [5].

Semaklah kembali senandungnya ar-Rumi, lewat Fihi ma Fihi [6]; “Nabi yang menemukan jalan pertama kali, meninggalkan rambu jalan di berbagai tempat, sambil berkata, “Apabila engkau menapak jalan ini (jalan selain Islam-penulis), engkau akan menderita seperti kaum ‘Aad dan Tsamud,” dan, “Apabila engkau menyusuri jalan yang ini (jalan perjuangan fisabiliLLAH-penulis) engkau akan berbahagia sebagaimana berbahagianya orang-orang beriman.”

Sungguh, kemenangan itu jaminan pasti buat risalah ini. Tapi, bila kemenangan itu akan terjadi? “Itu bukan tugas kami untuk menjawab,” kata Abu Mus’ab al-Zarqawi, “ALLAH tidak membebani kami untuk itu. Yang ALLAH bebankan kepada kami adalah beramal untuk agama Islam, membela syariat Islam, dan mencurahkan segala kemampuan itu. Mengenai hasil, maka hanya kita serahkan kepada-Nya [7].”

“Beramallah kalian nescaya ALLAH, ar-Rasul dan orang beriman akan melihat amal-amalan kalian..”
(Surah at-Taubah [9]:105)

Marilah bersama melihat ke hadapan, bahawa ada banyak hal yang belum kita lakukan, bahawa ada banyak peluang yang bisa kita optimalkan, bahawa ada banyak tentangan yang harus kita selesaikan. Tidak akan ada kemuliaan –seperti katanya Umar al-Khattab (R.A)- di luar daripada lingkuan Islam.

RUJUKAN

[1] Syaikh Shafiyyur-Rahman al-Mubarakfury, “Sirah Nabawiyah” (ar-Rahiqul Makhtum)¸Pustaka al-Kautsar(2000), ms. 138-144

[2] al-Syahid Sayyid Qutb, “Ke’ajaiban al-Qur’an”, Dewan Pustaka Fajar(1983), ms. 13

[3] Umar Tilmisani, “Mursyidul ‘Am ketiga Ikhwanul Muslimin: Bukan Sekadar Kenangan” (Umar Tilmisani: Dzikrayaat laa Mudzakiraat), Robbani Press(1998), ms. 64-64

[4] Syaikh Munir Muhammad al-Ghadban, “Manhaj Haraki (Jilid 1)”, Robbani Press(2003), ms. 43

[5] Lihat catatan kenangan-nya Cahyadi Takriawan atau Pak Cah, Pengurus Wilayah Dakwah DPP Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Indonesia di dalam bukunya Cahyadi Takriawan, “Memoar Cinta di Medan Dakwah”, Era Intermedia(2004), ms. 52

[6] Jalaluddin Rumi, “Kado Bagi Pejuang Cinta”, Kreasi Wacana(2004), ms. Xiii

[7] Abdullah Azzam & istri; Syeikh Ahmad Yassin, Abdul Aziz ar-Rantisi; Khattab; Abu Umar as-Seif; Abu Mus’ab al-Zarqawi; Umar Abdurrahman; Usamah bin Ladin, “Surat Dari Garis Depan: Suara Hati Tokoh Perlawanan”, Jazeera(2006)

0 Comments:

Post a Comment

<< Home

Ukhwah.com :: Top Blog