Tuesday, January 09, 2007

[ibroh idul adha]: JIWA KITA YANG SEBENARNYA KERDIL

JIWA KITA YANG SEBENARNYA KERDIL
Oleh: Engr. Faridul Farhan Abd Wahab


Ke bukit Safa, wanita itu berlari-lari anak. Bukan hanya tekaknya yang serba kering yang ingin ia basahi, tetapi anak yang digendongnya itu yang perlu disusui. Hampa di Safa, ke Marwah pula ia pergi. Berulang-alik, sehingga 7 kali, demi cinta suci pada anak yang menangis-nangis kadahagaan. Itulah ketakjuban sebuah cinta, anak yang berat tidak lagi menjadi beban, bahkan inspirasi. Perjalanan yang melelahkan, justeru pengorbanan yang mempesonakan.

Sehingga, ketika telah jelas perjuangan wanita itu, turunlah Malaikat membenamkan sayapnya ke tanah, hingga memancarkan air. Hajar lalu membuat bendungan kecil dengan tangannya, menceduk air dan dimasukkan ke dalam bekas yang dibawanya. Setelah penuh, air itu tetap memancar. Beliau lalu tercengang. Tetap minum sepuasnya, untuk kembali menyusui anaknya. [1] Begitulah, setiap pengorbanan, sering membuahkan balasan yang tak terjangkakan.

Tapi, untuk sampai ke nikmat sebesar itu, seagung itu, seabadi itu, harus tegar melalui sebuah penderitaan. Penderitaan yang justeru sebuah rambu-rambu perjuangan. Perjuangan yang penuh dengan unsur pengorbanan. Dan pengorbanan yang dipacu oleh keyakinan akan kebenaran.

Lalu di sini masalahnya. Kita seolah kekurangan –jika tidak ketiadaan- sosok-sosok segagah Hajar yang sanggup memikul sebuah beban bernama Ismail (A.S), lantaran mempunyai jiwa yang sungguh besar. Kita juga ketiadaan seorang yang setegar Ibrahim (A.S), yang juga berjiwa besar, untuk dengan berat hatinya bertawakal kepada ALLAH, melepas pergi isteri dan anak, untuk sebuah masa depan yang tidak pasti. Kita justeru tiada keyakinan akan kasih sayang dan peliharaan Tuhan, sehingga terbeban kita untuk melakukan pengorbanan, lalu derita kita mengharungi ujian, dan berakhir kepada kegagalan memperoleh hasil yang diidamkan.

Kita gagal lantaran tidak berjuang. Dan tidak berjuang, lantaran ketidak-sediaan untuk berkorban. Dan tidak sedia berkorban, lantaran merasakan bebannya risalah kebenaran. Walhal, bukanlah da’wah itu yang terlalu beban, tetapi jiwa kita yang terlalu kerdil.

“Jika Allah menolong kamu, maka tak adalah orang yang dapat mengalahkan kamu; jika Allah membiarkan kamu (tidak memberi pertolongan), maka siapakah gerangan yang dapat menolong kamu (selain) dari Allah sesudah itu? Karena itu hendaklah kepada Allah saja orang-orang mukmin bertawakal.”
(Surah ali Imran [3]:160)

Maka ditinggikanlah darjat orang-orang yang berjiwa besar, sepertimana dianugerahi kepada jiwa-jiwa besar sebelum mereka, seperti Ibrahim, Ismail, Hajar, Maryam dan lain-lainnya.

“..Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk satu derajat. Kepada masing-masing mereka Allah menjanjikan pahala yang baik (surga) dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang yang duduk dengan pahala yang besar.”
(Surah an-Nisa’ [4]:95)

Maka bertanyalah kembali diri kita; terhinanya Islam, sudahkah kita berbuat apa-apa? Adakah da’wah itu yang terlalu berat, atau jiwa kita yang terlampau kerdil?


RUJUKAN

[1] Kisah dipetik (menggunakan ayat-ayat sendiri) daripada buku Ibnu Katsir, “Kisah Para Nabi” (Qishashul Anbiyaa’: Ibratun li-Ulil Albaab), Perniagaan Jahabersa (2004), ms. 196-197

0 Comments:

Post a Comment

<< Home

Ukhwah.com :: Top Blog