[ibroh idul adha]: KEPATUHAN SANG ANAK
KEPATUHAN SANG ANAK
Oleh: Engr. Faridul Farhan Abd Wahab
Itu sebuah permintaan gila! Hanya kegilaan bisa terungkap andainya masih ada bibit-bibit kepatuhan dan ketaatan pada permintaan itu, sungguhpun datang dari seorang ayah, insan yang menuntut kewajipan taat yang mutlak dari sang anak. Namun, tidak bagi seorang Ismail (A.S). Keimanan telah mendahului segalanya. Apatah lagi, ketaatan seorang anak pada ayahnya –apatah lagi bila sang ayah juga seorang Nabi- menutup langsung ruang keraguan, menimbus habis lubang kegilaan.
Siapa saja pastinya terkejut mendengar permintaan sebegitu. Masakan tidak, tergadai nyawa menjadi taruhan. Namun, pengorbanan dua beranak Ibrahim (A.S) dan Ismail (A.S) yang bersumberkan keimanan yang mendalam, menjadi rahsia semuanya, untuk kemudian babak pengorbanan mereka diabadikan di dalam memori sejarah.
“Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!"…
(Surah as-Shaaffaat [37]:102)
Permintaan sang ayah, kalaulah kiranya kita seorang Ismail (A.S), tentunya terasa sangat berat. Betapa terserlah kasih sayang sang ayah, tatkala terpacul juga permintaan pendapat, sungguhpun telah jelas mimpi berteraskan wahyu, menjadi bukti cinta seorang ayah sejati.
Begitu juga cinta seorang anak –yang tentunya kerana dia bukanlah seorang kita- tatkala menyahut mantap pertanyaan pendapat penuh kasih sang ayah;
“…Ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar".
(Surah as-Shaaffaat [37]:102)
Demikianlah, cinta pada Ilahi Rabbi, telah mewajibkan cinta kepada kedua ayah bonda. Dan berkat pemahaman cinta –seperti yang dimodelkan oleh kedua nabi ini- menjadikan ketaatan dan kepatuhan sebagai teras keharmonian institusi kekeluargaan.
Bijak sekali tatkala Luqman al-Hakim meninggalkan pesan buat anak kesayangannya -sehingga diiktiraf dan dirakamkan al-Quran- agar menjadikan ketaatan kepada ayah bonda sebagai mata pelajaran kedua setelah menanamkan kecintaan kepada Ilahi Rabbi.
“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.”
(Surah Luqman [31]:14)
Tidakkah tatkala kita menyoroti kisah kejahatan adik-beradik Yusuf (A.S), yang akibat sebuah kedengkian, menyebabkan tragedi kezaliman pun mengambil tempat di dalam babak kehidupan, namun tidak langsung kita ketemukan babak kurang ajar mengambil tempat di dalam surah yang dipenuhi keindahan?
Lalu, hitunglah kembali berapa banyak ungkapan “ahh” yang muncul daripada mulut kita, memahat dosa di dalam amalan?
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.”
(Surah al-Isra’ [17]:23)
Aduh, betapa mulianya mereka, kedua ayah bonda kita. Dan betapa hinanya kita, tidak langsung serupa model ketaatan seorang anak yang ditampilkan Nabi Ismail (A.S). Maka mintalah ampun di atas dosa-dosa kita, dan dosa kedua ibu bapa kita, dan jadilah anak yang soleh yang menjadi “amalan berterusan” buat kedua ayah bonda kita, sungguhpun di alam Baqa’ sana.
“Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil".
(Surah al-Isra’ [17]:24)
0 Comments:
Post a Comment
<< Home