Thursday, May 17, 2007

GAYAT

Oleh: Faridul Farhan Abd Wahab "ku sedar, bukan hanya aku yang sibuk di dunia ini"

Terus terang saja, saya seorang yang gayat. Naik saja ke tempat yang tinggi, tanpa dinding, tanpa penghadang, dengan angin yang beritup kencang, saya akan mula sedikit ketakutan. Justeru takut pada ketinggian ini bukanlah takut yang tidak syar’ie (takut hantu misalannya. Itu takut yang tidak dibenarkan) tetapi ia adalah ketakutan tabi’e atau yang secara lumrahnya sesetengah manusia ada. Takut tabi’e sebegini diiktiraf oleh Islam, namun, jiwa mu’min sejati tak akan pernah membiarkan apa pun halangan merintangi dan menyekat perjuangannya yang mengambil masa yang sangat panjang.

Apatah lagi, dengan rutin hidup di tempat kerja yang memerlukan saya naik ke tempat yang tinggi, seperti memanjat boiler house seperti yang saya lakukan sebentar tadi, tentunya takut pada ketinggian akan menjadi suatu masalah. Namun, jika anda adalah pekerja yang baik, ketakukan anda itu pastinya tidak akan menyekat anda untuk menjalankan tugas yang memerlukan anda tetap saja memanjat tempat yang tinggi. Ertinya mereka-mereka yang keinginan-keinginannya bisa memotivasikan kehidupan, hatta gunung sekalipun bukanlah
penghalangnya. Lautan berapi sekalipun, bukanlah samudera yang tidak bisa direnangkan.

Jika halangan-halangan keduniaan sahaja bisa diatasi berbekalkan motivasi keinginan duniawi, maka kenapakah motivasi ukhrawi tidak bisa membelai kesungguhan dan kesanggupan kita?

“Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin, diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al Qur'an. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar.”
(Surah at-Taubah [9]:111)

Benarlah ungkapan para ulama’ da’wah kita, tatkala memperingatkan betapa kita akan diuji, bahkan pasti diuji, dari titik kelemahan kita. Jika kelemahan kita ialah studi, maka demikian ada program keagamaan, ketika itulah kita dibebankan dengan sekian banyak assignment, dengan ujian dan peperiksaan menanti-nanti di keesokan hari.

Jika kelemahan kita adalah harta, demikian kita masuk alam pekerjaan, tiada lagi tilawatul quran sehari-hari. Tiada lagi solat dhuha menerangi waktu pagi. Tiada lagi artikel-artikel penumbuh kesedaran, lantaran kesibukan sentiasa menjadi bahan alasan.

Jika kelemahan kita adalah keluarga, demikian mahu berangkat ke program keagamaan, demikian itulah anak kita sakit dan demam. Demikianlah itulah ibu bapa dan tetamu berkunjung datang. Demikian itulah tagihan perolongan daripada diri kita ditagih-tagih untuk kita sumbangkan.

Maka itulah sebabnya, seorang mu’min sejati adalah orang-orang yang, bak bahasa al-Quran, merupakan orang-orang yang menang. Kerana mereka adalah insan-insan yang sentiasa berjumpa penyelesaian terhadap kebuntuan. Kerana mereka adalah orang-orang yang sentiasa mengenal usaha dan tawakkal, berbanding henburan seribu satu alasan. Kerana mereka adalah individu-individu yang merdeka jiwanya, sehingga tidak akan ada apa dan tidak akan ada siapa yang dapat mengongkong dan menghambat jiwa mereka, dalam perjalanan mereka mendaki puncak keredhaan Yang Maha Esa.

“(Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa. Bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan di dunia dan (dalam kehidupan) di akhirat. Tidak ada perobahan bagi kalimat-kalimat (janji-janji) Allah. Yang demikian itu adalah kemenangan yang besar.”
(Surah Yunus [10]:63-64)

“Hai orang-orang yang beriman, rukuklah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan.”
(Surah al-Hajj [22]:77)

“Allah menjanjikan kepada orang-orang yang mukmin lelaki dan perempuan, (akan mendapat) surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai, kekal mereka di dalamnya, dan (mendapat) tempat-tempat yang bagus di surga Adn. Dan keridaan Allah adalah lebih besar; itu adalah keberuntungan yang besar.”
(Surah at-Taubah [9]:72)

Maka benarlah kata-kata orang, bahawa kita tidak akan bisa melarikan diri daripada masalah. Tetapi kita harus –dengan penuh gentlemen dan kepahlwanan- menghadapi masalah, mendaki dan mengunggulinya, sehingga kitalah di “atas” tambatan. Kitalah di “atas” halangan, kitalah di “atas” alasan yang menghantui dan membantutkan perjuangan kita selama ini. Tidak hairanlah Rub’i Bin Amir menghebahkan rahsia penaklukan Islam ke atas dunia kepada Rustum sang panglima perang Rom dengan berkata: “kami datang untuk mengeluarkan manusia daripada penghambaan sesama manusia kepada penghambaan kepada ALLAH semata-mata..”

Jika anda tidak bisa mengatasi titik kelemahan anda, kelak anda akan diuji, dan pasti diuji dengan titik yang sama juga. Jika anda membiarkan kerjaya anda sebagai kelemahan anda bermaharajalela, lalu menjadikan alasan “tunggu aku jadi bos” barulah anda memperbaiki mutabaah tilawah al-Quran anda, menulis artikel berbentuk tazkirah, dan lain sebagainya, demikian anda jadi bos, anda tetap saja tidak berdakwah, tetap saja lemah dalam beribadah, tetap saja mengkesampingkan tarbiyah, lantaran kesibukan-kesibukan baru dan ketakutan-ketakutan baru –client lari jika anda cerita pasal islam misalnya, atau takut kena buang kerja sedangkan hutang-hutang lantaran perbelanjaan dah besar berlambak misalnya- yang tidak pernah bisa anda selesaikan, yang tak pernah hendak anda rubah kepada musim-musim bersemikan dakwah.

Jika anda membiarkan keluarga sebagai kelemahan anda menguasai anda, lalu menjadikan alasan “kali ni saja” misalannya, percayalah, kelak akan timbul lagi “kali ni-kali ni” yang kedua, ketiga, keempat, ke lapan belas juta dan berikutnya, sebagai alasan daripada mulut anda. Lihatlah saja ketegaran Hassan al-Banna, tatkala tetap saja melangkah ke medan dakwah, mengatasi dan mengungguli “rayuan titik kelemahannya” dari sang anak yang sedang sakit. “Jika saya di sini pun, tetap saja saya tidak bisa menyembuhkannya”, atau –dalam rawi yang lain- “datuk dia lebih maklum jalan ke kuburan.” Toh, anaknya tetap hidup hingga ke hari ini.

Inilah baru pahlwan, inilah baru perwira! Jika orang tidak beriman saja bisa mengatasi gayat sebagai titik kelemahannya, kenapa tidak orang beriman seperti anda?

0 Comments:

Post a Comment

<< Home

Ukhwah.com :: Top Blog