Monday, July 23, 2007

[serial ukhwah]: INTERAKSI DUA JIWA

[serial ukhwah]: INTERAKSI DUA JIWA
Oleh: Engr. Faridul Farhan Abd Wahab “menyempurnakan, tidak hanya membetulkan”

Kisahnya sudah terbiasa diceritakan. Peristiwanya sudah sering diperdengarkan. Namun, ibrah dan pelajaran daripada episod itulah, yang kelihatannya terlalu sulit untuk diserap dan diamalkan oleh watak-watak yang mendiami panggung kehidupan dewasa ini. Hingga mana, episod nan serba indah itu, harus perlu disebut-ulang selalu, hingga masyarakat kini bisa merasa tempias kehebatan yang dipertonjolkan oleh teraju utama babak bersejarah ini.

Perhatikan kembali kisah itu. Sa’d bin ar-Rabi’ al-Anshari, baru saja diketemukan dan dipersaudarakan dengan sahabat penghuni Syurga Abdul Rahman bin ‘Auf. Tapi, perkenalan nan sedetik cuma, seakan terlakar sejak sekian lama, hingga saja Sa’d menghulurkan sebaik-baik bantuan buat saudaranya yang tercinta. “Sesungguhnya aku adalah orang yang paling banyak hartanya di kalangan Anshar. Ambillah separuh hartaku itu menjadi dua. Aku juga mempunyai dua isteri. Maka lihatlah mana yang engkau pilih, agar aku bisa menceraikannya. Jika masa iddahnya sudah habis, maka kahwinilah ia!”

SubhanaLLAH, masih ada lagikah sosok-sosok semulia Sa’d bin ar-Rabi’ ini, dalam mengungkapkan erti persahabatan dan persaudaraan yang sejati? Dan ternyata, seorang sahabat nan setia, seorang teman yang murni, dan seorang saudara yang mulia, hanya layak untuk insan yang sesuci dan sehebat sosok sepertinya juga. Lihatlah kebesaran jiwa dan kemulian akhlak seorang Abdul Rahman Bin ‘Auf, tatkala membalas, “semoga ALLAH memberkahi bagimu dalam keluarga dan hartamu. Lebih baik tunjukkan saja mana pasar kalian?”[1]. Ternyata pengorbanan dan kebaikan seorang saudara, selayaknya dibalas oleh kabaikan dan ketulusan daripada saudaranya yang lain, seperti mana yang diabadikan oleh Sa’d dan Abdul Rahman ‘Auf tadi.

Saudaraku,

Kisah tadi mengungkapkan buat kita pengertian sebenar tentang persahabatan. Standard yang tepat akan persaudaraan. Rahmat yang terselindung di balik perkenalan. Hingga saja, dengan standard persaudaraan semisal ini, menjadi bukti yang kuat tentang keadilan Islam yang berperikemanusiaan, bermoral dan membina.[2] Lantaran itu, pembinaan masjid dan mempersaudarakan antara Muhajirin dengan Anshar, menjadi langkah-langkah terawal oleh baginda Nabi, begitu ia tiba di kota Madinah. Lantaran kedaulatan dan ketamadunan umat, harus dibina dan disandarkan pada kekuatan ini; kekuatan persaudaraan.

Persaudaraan atau ukhuwwah -dalam pandangan seorang Engineer Fathi Yakan- merupakan salah satu sendi yang menjadi tunjang dalam usaha untuk memperkuatkan binaan masyarakat Islam dan mengeratkan hubungan antara penganutnya.[3] Tidak hairanlah as-Syahid Hassan al-Banna tidak lupa untuk meletakkan topik persaudaraan ini dalam salah satu rukun bai’ahnya[4], kerana beliau cukup tahu betapa faktor ukhuwwah ini merupakan antara faktor terpenting yang dapat menjamin kecekalan para Ikhwan tatkala berhadapan dengan pelbagai tribulasi yang diuji ke atas mereka.[5]

Tapi, satu hal yang harus diingat, berbalik dari kisah Sa’d dan Abdul Rahman bin ‘Auf tadi, adalah persaudaraan itu adalah interaksi antara dua jiwa. Satu jiwa –seperti yang dipertontonkan oleh sosok Sa’d- saling memberi, satu jiwa –yang ditonjolkan Abdul Rahman- saling memahami. Satu jiwa saling berkongsi, sedang satu jiwa saling memahami. Di sana, ada yang sanggup berkorban, dan di sana juga ada jiwa yang tidak pantas mengambil kesempatan.

Ertinya, episod tadi adalah episod interaksi antara dua jiwa. Lantaran itu, persaudaraan dan persahabatan tidak pernah –dan tidak akan pernah- dijayakan oleh satu jiwa sahaja. Harus ada interaksi. Lantas, tatkala wujud interaksi ini, jiwa itu akan saling memperlengkapkan, tidak sekadar saling membetulkan.

Lalu, di sinilah lemahnya generasi kita. Ungkapan persaudaraan, umpama melibatkan hanya satu jiwa; memikirkan kepentingan diri sendiri, dan mencari kekurangan jiwa yang satu lagi. Pantas saja kita menjadi “Pengkritik AF”, yang berbicara, mengkomentar dan mengkritik cacat cela dan kekurangan saudara kita sebegitu saja. Lantaran yang kita fikirkan hanyalah untuk membetulkan, bukan untuk menyempurnakan.

Sedang pengertian agung terhadap persaudaraan itu –seperti yang diungkapkan tadi- harus melibatkan interaksi dua jiwa. Ya, interaksi dua jiwa. Interaksi dan penyempurnaan yang akan berlaku, tatkala kita berbuat kerana memikirkan maslahat umat, bukan bertindak berdasarkan kepentingan peribadi. Interaksi itu berlangsung setelah mencermin diri sendiri, baru kemudiannya melihat orang lain. Pada keduanya, langkah kita sering senada: menyempurnakan kekurangan saudara kita, bukan sekadar mengkritik segala kelemahannya. Kerana kekurangan pada saudara kita itu manusiawi, lalu perlu pada penyempurnaan, sebagai gaya bentuk ukhuwaah yang indah tadi. Jika tidak, kata-kata Maimun bin Marhan bisa dijadikan teladan[6]; “Siapa yang rela tidak mengutamakan saudaranya maka hendaklah dia bersaudara dengan penghuni kubur!”


Pertahankanlah hubunganmu
Dengan orang-orang yang baik hati itu
Sekalipun mereka menuduhmu memutuskan persahabatan
Membuka pintu maaf dan lapang
Atas kesalahan mereka
Adalah pilihan sikap yang tepat[7]


Maka marilah kita bersaudara, agar umat ini kembali terbela. Dan langkah kaki kita senada seirama, beralun mengikut rentak dakwah umpama yang diinspirasikan seorang Hassan al-Banna, “Sungguh kami berbuat di jalan ALLAH untuk kemaslahatan seluruh manusia, lebih banyak dari apa yang kami lakukan untuk kepentingan diri kami sendiri. Kami adalah milik kalian wahai saudara tercinta. Sesaat pun kami tidak akan pernah menjadi musuh kalian.”[8] Dan iya, marilah kita saling menyempurnakan, bukan sekadar mengkritik dan membetulkan.

RUJUKAN

[1] Syaikh Shafiyyur-Rahman al-Mubarakfury, “Sirah Nabawiyah (ar-Rahiqul-Makhtum)”, Pustaka al-Kautsar (2000-cetakan kesembilan), ms. 249

[2] Dr. Mustafa al-Siba’ei, “Perjalanan Hidup Nabi Muhammad S.A.W.(as-Sirah an-Nabawiyyah duruus wa ‘ibrah)”, Pustaka Darussalam (2004), ms. 54

[3] Fathi Yakan, “Apa Ertinya Saya Menagnut Islam? (Maadzaa ya’nii intimaaii lilislaam)”, Pustaka Salam (2000), ms. 239-240

[4] Hasan al-Banna, “Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimin 2”, Era Intermedia (2000-cetakan ketiga), ms. 175

[5] Muhammad ‘Abdullah al-Khatib, “Penjelasan di Sekitar Risalah Ta’alim”, Dewan Pustaka Fajar (2001), ms. 336-337

[6] Sa’id Hawwa, “Mensucikan Jiwa: Kaedah Tazkiyatun Nafs Bersepadu”, Pustaka Dini Sdn. Bhd. (2001), ms. 617

[7] Abu ‘Ashim Hisyam bin Abdul Qadir ‘Uqdah, “Virus-virus Ukhuwah (Fi Riyadhil-Ukhuwwah-Mufsidatul Ukhuwwah)”, Robbani Press (2004), ms. 194

[8] Muhammad Abdullah al-Khatib, “Pahlawan Itu Bernama al-Banna: Sosok Da’I, Pejuang dan Pahlawan Sejati”, Pustaka Nauka (2006)

0 Comments:

Post a Comment

<< Home

Ukhwah.com :: Top Blog