Thursday, May 24, 2007

NAFSU KEKUASAAN

NAFSU KEKUASAAN

Faridul Farhan Abd Wahab "makmum di belakang"


“7 Golongan yang mendapat naungan ALLAH pada hari yang tiada lagi naungan melainkan naungan-NYA;
1. Imam yang adil
2. - - - -
3. - - - -
4. - - - -
5. - - - -
6. - - - -
7. - - - -
(Hadith riwayat Bukhari dan Muslim)

info gambar:boiler house. Anda berani memanjatnya?

Akademi Fantasi Musim ke-5 (AF5) baru saja berakhir. Kesinambungan program realiti paling popular itu, masih belum ketentuan. Kabur; entah disambung, entah tidak. Apatah lagi dengan pengunduran pengacara popularnya, Aznil Hj. Nawawi, tentunya memberikan sebab yang sangat baik untuk penerbitnya merehatkan sementara –jika tidak mahu menamatkan terus (sedang itulah yang terbaik)- lantaran ingin mengembalikan aura rancangan kesukaan ramai itu.

Hairan, seharusnya sebaik AF kehilangan umph pasca zaman Tsu-Mawi, tentunya menjadi petanda betapa program realiti hiburan itu tidak relevan lagi di muka bumi. Namun, barangkali kerana umumnya manusia gilakan kemasyhuran, hinggakan ratusan bahkan ribuan orang berbondong-bondong mendatangi uji bakat program seumpama ini, dari AF ke Audition, dari Who Will Win kepada One in a Million, dan oh, tak lupa yang paling membosankan di antara semuanya iaitu Bintang RTM, lantas para promoter kelalaian duniawi, pantas istiqamah dan terus bertahan menyiarkan program-program lalai dan maksiat sebegini.

Ya, mungkin itulah petunjuk betapa manusia kepinginkan kemasyhuran. Ingin diperhati, ingin menjadi somebody. Atau, ingin selalunya berada “di atas”. Maka tidak hairanlah manusia cukup suka pada kekuasaan, lantaran itulah salah satu kecenderungan utama hawa nafsu manusia, tak kira siapa pun dia, kecenderungan ini pasti ada.

Tidak hairanlah Islam meletakkan guideline bagi membendungan bertakhtanya nafsu kekuasaan ini. Hinggakan Imam Nawawi meletakkan satu bab khas “Larangan Meminta Jabatan” di dalam kitab Riyadhus Shalihinnya, lantaran hadith-hadith Nabi SAW jelas mengisyaratkan yang demikian. Dari Sa’id Abdurrahman bin Samurah R.A., ia berkata; “Rasulullah S.A.W bersabda ; Wahai Abdurrahman bin Samurah, jangan engkau meminta jabatan kerana jika engkau mendapatkannya dengan tidak meminta, maka engkau akan akan didukung ketika menjalankannya. Namun jika engkau mendapatkannya dengan jalan meminta, maka engkau akan dibebani dengannya…”
(Hadith Muttafaq ‘alaih)

Syarah Syaikh Muhammad al-Uthaimin terhadap hadith ini:
“..termasuk sikap wara’ dan hati-hati adalah dengan tidak meminta sedikit pun dari pengangkatan, promosi, atau lainnya. Jika anda diberi, maka ambillah. Namun jika anda tidak diberi, maka yang terbaik, paling wara’ dan paling dekat kepada ketaqwaan adalah jangan menuntutnya. Semua yang termasuk dunia bukan apa-apa. Jika ALLAH telah memberi anda rezeki yang cukup dengan tidak ada fitnah di dalamnya, maka yang demikian itu lebih baik daripada harta banyak yang sarat dengan fitnah di dalamnya…” [1]

Maka, bukan senang untuk menjadi pemimpin. Terlebih susah lagi, menjadi pemimpin yang adil. Kerana peradilan itu (al-Qadhaa) –kata Sayid Sabiq- bererti menyempurnakan sesuatu baik berupa ucapan maupun perbuatan. [2] Atau bahasa umumnya; meletakkan sesuatu pada tempatnya. Bukanlah pada tempatnya andainya seorang anak dalam darjah 1 diberikan wang saku RM400 sebulan lantaran mahu menyamakan wang saku yang diberikan pada anaknya yang lain di universiti. Ertinya meletakkan sesuatu pada tempatnya, tidak selalunya bererti kesama-rataan, seperti yang disangka oleh kebanyakan manusia.

“Tidak ada yang lebih besar,” kata Dr. Yusuf al-Qaradhawi [3], “bagi nilai keadilan, dari menjadikannya sebagai matlamat utama dalam pengutusan para Rasul ALLAH SWT serta penurunan kitab-NYA. Benarlah indikasi ALLAH;

“Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. Dan Kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia, (supaya mereka mempergunakan besi itu) dan supaya Allah mengetahui siapa yang menolong (agama) Nya dan rasul-rasul-Nya padahal Allah tidak dilihatnya. Sesungguhnya Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa.”
(Surah al-Hadid [57]:25)

Keadilan. Itulah tugas para Rasul yang mulia, dengan dibekalkan mereka kitab-kitab serta mizan, demi memastikan tertegaknya keadilan! Lalu, siapakah di kalangan umatnya yang bisa menjadi imam yang adil?

Bagaimana bisa menjadi imam yang adil, sedang belum jadi imam pun, belum memimpin pun, belum berada “di atas” pun, sudah tidak bisa berlaku adil. Sudah gagal menguasai nafsu berkuasa, lalu mewajibkan manusia seluruhnya menurut kata “aku”, tunduk pada pendapat “aku”, dan harus menerima segala percakapan “ku”? Tiada istilah “berlapang dada”, yang ada hanya “harus wala’/ taat semua!”

Bukankah al-Quran saja sudah mengajar, betapa berlaku adil itu, bahkan pada musuh anda sendiri (surah 5:12). Adil itu tegak, biar bertentangan dengan kepentingan peribadi (Surah 4:135). Lalu, adil apa namanya tatkala hanya orang lain yang harus berlapang dada dengan anda, tetapi tidak anda kepada orang lain? Maka bayangkan saja jika sudah “di atas”? Tatkala “di bawah” saja tidak bisa berlaku adil, apatah lagi jika sudah “di atas”?

Itulah sebabnya Islam memberikan didikan yang sangat baik sekali, agar para imam bisa sentiasa melihat “ke bawah”, hingga keadilan itu bisa tertegak, biar pun peribadi menjadi taruhan. Bukankah Nabi SAW telah bersabda;

“Jika salah seorang di antaramu bersolat dengan orang banyak, maka hendaklah diringankannya, kerana di antara mereka ada yang lemah, sakit atau tua…”
(Hadith riwayat Jama’ah)

Diriwayatkan dari Umar, katanya; “Janganlah kamu menyebabkan bencinya ALLAH terhadap hamba-NYA, iaitu dengan memanjangkan solat hingga terasa berat bagi para makmum di belakang.” [4]

Apatah mungkin anda bisa “memandang ke bawah” atau “ke belakang” sebegini, sedang di tempat imamlah tempat terbaik anda menunjukkan ke”syaikh”an anda, kemantapan anda, banyak hafalan anda, betapa indahnya bacaan al-Quran anda?

Keadilan, keadilan. Ternyata suatu yang ringan di mulut, tapi beban di amal. Apatah lagi nafsu kekuasaan sentiasa membangkang keadilan ini. Namun istiqamahlah, agar anda bisa lulus “uji bakat” di Padang Mahsyar kelak, sambil menjadi salah satu dari tujuh yang dinaungi oleh naungan Ilahi.






RUJUKAN

[1] Syaikh Muhammad al-Utsaimin, “Syarah Riyadhus Shalihin (Jilid 2)”, Darul Falah (2006), ms. 835

[2] Sayid Sabiq, “Fikih Sunnah (Jilid 14)”, Victoria Agencie (1990), ms. 17

[3] Prof. Dr. Yusuf al-Qardhawi, “Ciri-ciri Unggul Masyarakat Islam Yang Kita IDamkan”, Penerbitan Seribu Dinar (2000), ms. 204

[4] Sayid Sabiq, “Fikih Sunnah (Jilid 2)”, Victoria Agencie (1990), ms. 110

0 Comments:

Post a Comment

<< Home

Ukhwah.com :: Top Blog