Monday, July 23, 2007

[serial ukhwah]: INTERAKSI DUA JIWA

[serial ukhwah]: INTERAKSI DUA JIWA
Oleh: Engr. Faridul Farhan Abd Wahab “menyempurnakan, tidak hanya membetulkan”

Kisahnya sudah terbiasa diceritakan. Peristiwanya sudah sering diperdengarkan. Namun, ibrah dan pelajaran daripada episod itulah, yang kelihatannya terlalu sulit untuk diserap dan diamalkan oleh watak-watak yang mendiami panggung kehidupan dewasa ini. Hingga mana, episod nan serba indah itu, harus perlu disebut-ulang selalu, hingga masyarakat kini bisa merasa tempias kehebatan yang dipertonjolkan oleh teraju utama babak bersejarah ini.

Perhatikan kembali kisah itu. Sa’d bin ar-Rabi’ al-Anshari, baru saja diketemukan dan dipersaudarakan dengan sahabat penghuni Syurga Abdul Rahman bin ‘Auf. Tapi, perkenalan nan sedetik cuma, seakan terlakar sejak sekian lama, hingga saja Sa’d menghulurkan sebaik-baik bantuan buat saudaranya yang tercinta. “Sesungguhnya aku adalah orang yang paling banyak hartanya di kalangan Anshar. Ambillah separuh hartaku itu menjadi dua. Aku juga mempunyai dua isteri. Maka lihatlah mana yang engkau pilih, agar aku bisa menceraikannya. Jika masa iddahnya sudah habis, maka kahwinilah ia!”

SubhanaLLAH, masih ada lagikah sosok-sosok semulia Sa’d bin ar-Rabi’ ini, dalam mengungkapkan erti persahabatan dan persaudaraan yang sejati? Dan ternyata, seorang sahabat nan setia, seorang teman yang murni, dan seorang saudara yang mulia, hanya layak untuk insan yang sesuci dan sehebat sosok sepertinya juga. Lihatlah kebesaran jiwa dan kemulian akhlak seorang Abdul Rahman Bin ‘Auf, tatkala membalas, “semoga ALLAH memberkahi bagimu dalam keluarga dan hartamu. Lebih baik tunjukkan saja mana pasar kalian?”[1]. Ternyata pengorbanan dan kebaikan seorang saudara, selayaknya dibalas oleh kabaikan dan ketulusan daripada saudaranya yang lain, seperti mana yang diabadikan oleh Sa’d dan Abdul Rahman ‘Auf tadi.

Saudaraku,

Kisah tadi mengungkapkan buat kita pengertian sebenar tentang persahabatan. Standard yang tepat akan persaudaraan. Rahmat yang terselindung di balik perkenalan. Hingga saja, dengan standard persaudaraan semisal ini, menjadi bukti yang kuat tentang keadilan Islam yang berperikemanusiaan, bermoral dan membina.[2] Lantaran itu, pembinaan masjid dan mempersaudarakan antara Muhajirin dengan Anshar, menjadi langkah-langkah terawal oleh baginda Nabi, begitu ia tiba di kota Madinah. Lantaran kedaulatan dan ketamadunan umat, harus dibina dan disandarkan pada kekuatan ini; kekuatan persaudaraan.

Persaudaraan atau ukhuwwah -dalam pandangan seorang Engineer Fathi Yakan- merupakan salah satu sendi yang menjadi tunjang dalam usaha untuk memperkuatkan binaan masyarakat Islam dan mengeratkan hubungan antara penganutnya.[3] Tidak hairanlah as-Syahid Hassan al-Banna tidak lupa untuk meletakkan topik persaudaraan ini dalam salah satu rukun bai’ahnya[4], kerana beliau cukup tahu betapa faktor ukhuwwah ini merupakan antara faktor terpenting yang dapat menjamin kecekalan para Ikhwan tatkala berhadapan dengan pelbagai tribulasi yang diuji ke atas mereka.[5]

Tapi, satu hal yang harus diingat, berbalik dari kisah Sa’d dan Abdul Rahman bin ‘Auf tadi, adalah persaudaraan itu adalah interaksi antara dua jiwa. Satu jiwa –seperti yang dipertontonkan oleh sosok Sa’d- saling memberi, satu jiwa –yang ditonjolkan Abdul Rahman- saling memahami. Satu jiwa saling berkongsi, sedang satu jiwa saling memahami. Di sana, ada yang sanggup berkorban, dan di sana juga ada jiwa yang tidak pantas mengambil kesempatan.

Ertinya, episod tadi adalah episod interaksi antara dua jiwa. Lantaran itu, persaudaraan dan persahabatan tidak pernah –dan tidak akan pernah- dijayakan oleh satu jiwa sahaja. Harus ada interaksi. Lantas, tatkala wujud interaksi ini, jiwa itu akan saling memperlengkapkan, tidak sekadar saling membetulkan.

Lalu, di sinilah lemahnya generasi kita. Ungkapan persaudaraan, umpama melibatkan hanya satu jiwa; memikirkan kepentingan diri sendiri, dan mencari kekurangan jiwa yang satu lagi. Pantas saja kita menjadi “Pengkritik AF”, yang berbicara, mengkomentar dan mengkritik cacat cela dan kekurangan saudara kita sebegitu saja. Lantaran yang kita fikirkan hanyalah untuk membetulkan, bukan untuk menyempurnakan.

Sedang pengertian agung terhadap persaudaraan itu –seperti yang diungkapkan tadi- harus melibatkan interaksi dua jiwa. Ya, interaksi dua jiwa. Interaksi dan penyempurnaan yang akan berlaku, tatkala kita berbuat kerana memikirkan maslahat umat, bukan bertindak berdasarkan kepentingan peribadi. Interaksi itu berlangsung setelah mencermin diri sendiri, baru kemudiannya melihat orang lain. Pada keduanya, langkah kita sering senada: menyempurnakan kekurangan saudara kita, bukan sekadar mengkritik segala kelemahannya. Kerana kekurangan pada saudara kita itu manusiawi, lalu perlu pada penyempurnaan, sebagai gaya bentuk ukhuwaah yang indah tadi. Jika tidak, kata-kata Maimun bin Marhan bisa dijadikan teladan[6]; “Siapa yang rela tidak mengutamakan saudaranya maka hendaklah dia bersaudara dengan penghuni kubur!”


Pertahankanlah hubunganmu
Dengan orang-orang yang baik hati itu
Sekalipun mereka menuduhmu memutuskan persahabatan
Membuka pintu maaf dan lapang
Atas kesalahan mereka
Adalah pilihan sikap yang tepat[7]


Maka marilah kita bersaudara, agar umat ini kembali terbela. Dan langkah kaki kita senada seirama, beralun mengikut rentak dakwah umpama yang diinspirasikan seorang Hassan al-Banna, “Sungguh kami berbuat di jalan ALLAH untuk kemaslahatan seluruh manusia, lebih banyak dari apa yang kami lakukan untuk kepentingan diri kami sendiri. Kami adalah milik kalian wahai saudara tercinta. Sesaat pun kami tidak akan pernah menjadi musuh kalian.”[8] Dan iya, marilah kita saling menyempurnakan, bukan sekadar mengkritik dan membetulkan.

RUJUKAN

[1] Syaikh Shafiyyur-Rahman al-Mubarakfury, “Sirah Nabawiyah (ar-Rahiqul-Makhtum)”, Pustaka al-Kautsar (2000-cetakan kesembilan), ms. 249

[2] Dr. Mustafa al-Siba’ei, “Perjalanan Hidup Nabi Muhammad S.A.W.(as-Sirah an-Nabawiyyah duruus wa ‘ibrah)”, Pustaka Darussalam (2004), ms. 54

[3] Fathi Yakan, “Apa Ertinya Saya Menagnut Islam? (Maadzaa ya’nii intimaaii lilislaam)”, Pustaka Salam (2000), ms. 239-240

[4] Hasan al-Banna, “Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimin 2”, Era Intermedia (2000-cetakan ketiga), ms. 175

[5] Muhammad ‘Abdullah al-Khatib, “Penjelasan di Sekitar Risalah Ta’alim”, Dewan Pustaka Fajar (2001), ms. 336-337

[6] Sa’id Hawwa, “Mensucikan Jiwa: Kaedah Tazkiyatun Nafs Bersepadu”, Pustaka Dini Sdn. Bhd. (2001), ms. 617

[7] Abu ‘Ashim Hisyam bin Abdul Qadir ‘Uqdah, “Virus-virus Ukhuwah (Fi Riyadhil-Ukhuwwah-Mufsidatul Ukhuwwah)”, Robbani Press (2004), ms. 194

[8] Muhammad Abdullah al-Khatib, “Pahlawan Itu Bernama al-Banna: Sosok Da’I, Pejuang dan Pahlawan Sejati”, Pustaka Nauka (2006)

Friday, July 20, 2007

[serial pengorbanan]: MENCARI JIWA ABU THALHAH YANG HILANG

[serial pengorbanan]: MENCARI JIWA ABU THALHAH YANG HILANG
Oleh: Faridul Farhan Abd Wahab
“bisakah menikmati aroma syahid yang mengasyikkan?”

Orang tua itu kelihatannya seperti orang biasa. Namun, resume amal yang dicatatkannya, sungguh sebuah kisah perjuangan yang luar biasa. Hingga saja tatkala terbit lagi panggilan jihad, di saat ia sedang meniti usia-usia emasnya, tetap terpancut semangat juangnya yang tinggi, lalu menyeru anak-anaknya, untuk bersama-sama dalam pasukan jihad ini.

Tapi, ia sudah tersangat tua. Dan jasa-jasanya pada Islam sudah menggunung tinggi. Masakan saja anak-anaknya khuatir. “Semoga ALLAH mengurniakan rahmat-Nya kepada ayah. Ayah! Ayah telah berjihad bersama Rasulullah SAW sepanjang hayatnya sampai baginda wafat, bersama Abu Bakar hingga ia wafat, bersama Umar hingga ia wafat, maka biarlah kali ini, kami yang keluar berjihad untukmu.”[1] Permintaan putra-putranya justeru sangat munasabah. Tetapi tidak bagi seorang Abu Thalhah. Sungguh, bagaimana mungkin ia memberi uzur untuk duduk-duduk di rumah, sedang ayat ALLAH sangat segar di ingatan dan kehidupan sahabat R.A nan mulia ini.

“Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan atau pun merasa berat, dan berjihadlah dengan harta dan dirimu di jalan Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.”
(Surah at-Taubah [9]:41)

Lalu, ia berangkat saja ke medan jihad melalui laut, hingga maut datang menjemputnya ke gerbang syahid. Dan ALLAH pun memuliakan jenazahnya. Tak rosak biar sedikit pun, tidak membusuk hatta secumit pun, walau hanya bisa dikuburkan pasca tujuh hari kesyahidannya. [2]

Beberapa zaman terkemudiannya, lelaki itu sudah berada di posisi terbaik lagi selesa untuk membelai-belai kemewahan dan kesenangan dunia. Jawatan sebagai pensyarah –tepatnya di Universiti Islam Antarabangsa Islamabad (IIU)- sering sangat sulit untuk dilepaskan, tetapi ternyata tidak bagi seorang Abdullah Azzam. Ia merasakan tugasnya sebagai pensyarah memendekkan waktunya untuk berjihad. Lalu, ia susun kembali jadualnya. 3 hari untuk kerjaya, 4 hari untuk berjihad. Ternyata, tidak cukup! Lalu disusunnya kembali: 2 hari untuk kerjaya, 5 hari untuk berjihad. Hingga, pada tahun 1984, ia tetap merasakan pemberian masanya di jalan ALLAH belum cukup, lalu ia berhenti kerja, menggantikan maisyah (sumber pendapatan) serba selesa kepada pengharapan dan penyerahan diri pada ALLAH, di jalan ALLAH, sebagai pejuang ALLAH sepenuh masa. [3]

Subhanallah! Berapa ramai yang sudi menggadaikan kerjaya yang serba mengasyikkan, dengan kerjaya fi sabiliLLAH nan membawakan kemuliaan? Berapa ramaikah yang sanggup menukarkan imbuhan duniawi, dengan ganjaran pahala dan Syurga ukhrawi? Berapa ramaikah di antara kita, yang bisa melupakan ranjang nan enak, untuk mengimpikan mati syahid dan kehidupan abadi?

“Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan melipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezeki) dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan.”
(Surah al-Baqarah [2]:245)

Ke manakah hilangnya jiwa-jiwa pengorbanan Abu Thalhah ini? Ke manakah perginya kesungguhan jiwa-jiwa Abdullah Azzam ini? Kenapa begitu sibuk manusia dengan urusan dunia, hingga tergamak membiarkan agamanya tidak terbela, dan umatnya tertindas diseksa? Kenapa begitu mulia khidupan dunia di sudut pemandangan manusia, sedang keluasan perkampungan Akhirat justeru tidak terkira? “Kita akan mati juga satu hari nanti, entah disebabkan oleh Apache ataupun sakit jantung,” kata Abdul Aziz ar-Rantisi, “dan saya memilih untuk mati dibom oleh Apache (Israel).” [4] Dan sungguh, ALLAH mengurniakan kemuliaan itu buat dirinya!

Hayatilah bersama, pesanan terakhir Syeq Qutb[5] ini, beberapa saat sebelum memperoleh kemuliaannya di tiang gantung:
Saudara!
Seandainya kau tangisi kematianku,
Dan kau siram pusaraku dengan air matamu
Maka di atas tulang-tulangku yang hancur luluh,
Nyalakanlah obor buat ummat ini
Dan……
Teruskan perjalanan ke gerbang jaya

Saudara!
Kematanku adalah suatu perjalanan
Mendapatkan kekasih yang sedang merindu
Taman-taman di syurga Tuhanku bangga menerimaku
Burung-burungnya berkicau riang menyambutku
Bahagialah hidupku di alam abadi

Saudara!
Puaka kegelapan pasti akan hancur
Dan alam ini akan disinari fajar lagi
Biarlah rohku terbang mendapatkan rindunya

Janganlah gentar berkelana di alam abadi
Nun di sana
Fajar sedang memancar…..
RUJUKAN

[1] Tafsir surah at-Taubah [9]:41 oleh Ibnu Katsier dengan sedikit penambah baikan terhadap terjemahan tafsiran oleh penulis. Rujuk Ibnu Katsier, “Terjemahan Singkat Tafsir Ibnu Katsier (Jilid 4)”, Victory Agencie (1988), ms. 56-57

[2] Tafsir surah at-Taubah [9]:41 oleh Hamka. Rujuk Prof. Dr. Hamka, “Tafsir al-Azhar (Juzu’ 10-11-12)”, Pustaka Panjimas (1985), ms. 221-222

[3] Ibnu Ismail, “Abdullah Azzam: Merintis Khilafah Yang Hilang”, Pustaka Syuhada (2001), ms. 6-7

[4] Abdullah Azzam dan lain-lain, “Surat Dari Garis Depan (Suara Hati Tokoh Perlawanan)”, Jazera (2006)

[5] Syed Qutb, “Petunjuk Sepanjang Jalan”, Crescent News (K.L.) Sdn. Bhd. (2000)

Friday, July 13, 2007

[Serial Pengorbanan]: DAHAGA YANG MEMBAWA KEMENANGAN

[Serial Pengorbanan]: DAHAGA YANG MEMBAWA KEMENANGAN
Oleh: Faridul Farhan Abd Wahab ”generasi Thalut baru sudah muncul..”

Arahan itu sangat menghairankan. Dan perjalanan mereka dalam menuntut kemerdekaan, sungguh suatu perjalanan nan panjang lagi membebankan. Tapi, arahan itu tentunya suatu yang wajar, apatah lagi buat umat yang sudah puas bergelumang dalam kekalahan dan kehinaan sepanjang sejarah peradaban yang mereka coretkan.

Semudah itu sajakah yang mereka sangkakan, sedang adat resam sebuah perjuangan, tidak pernah sunyi dan sepi dari gelanggang pertarungan dan pengorbanan? Hingga –bak tafsiran fi Dzilal-nya Sayyid Qutb- arahan itu saja justeru memupuk kekuatan yang tersimpan di dalam jiwa, berupa iradah (kemauan, tekad, kehendak), iaitu iradah yang dapat mengendalikan syahwat dan keinginan, yang tegar menghadapi kesulitan dan penderitaan, dan mampu mengungguli semua kemahuan dan keperluan, yang lebih mengutamakan ketaatan dalam mengemban tugas dan tanggungjawab perjuangan, hingga mampu melepasi ujian demi ujian.

“Maka tatkala Thalut keluar membawa tentaranya, ia berkata: "Sesungguhnya Allah akan menguji kamu dengan suatu sungai. Maka siapa di antara kamu meminum airnya, bukanlah ia pengikutku. Dan barang siapa tiada meminumnya, kecuali menceduk seceduk tangan, maka ia adalah pengikutku." Kemudian mereka meminumnya kecuali beberapa orang di antara mereka. Maka tatkala Thalut dan orang-orang yang beriman bersama dia telah menyeberangi sungai itu, orang-orang yang telah minum berkata: "Tak ada kesanggupan kami pada hari ini untuk melawan Jalut dan tentaranya…”
(Surah al-Baqarah [2]:249)


Ertinya, kedahagaan itulah antara faktor kekuatan, keberanian dan kemenangan. Bukan, bukan dahaga itu, tapi kesungguhan, ketaatan dan pengorbanan para pendahaga itu, lantas menerbitkan bibit-bibit keberanian, yang justeru sangat diperlukan dalam setiap medan pertempuran.

Lalu Sayyid Qutb menyimpulkannya kepada dua. Satu; ketabahan menghadapi godaan keinginan dan syahwat. Dua; sabar menghadapi kesulitan dan beban berat. [1] Dan keduanya itu dipupuk, berkat setegaran mereka menahan gejolak dahaga yang melanda jiwa.

Lalu mereka pun tersaring. Begitu medan amal terbukti jauh berbeza dengan medan qaul atau medan lisan, pantas keyakinan dan keberanian sebahagian daripada mereka tergoncang. Pantas tampillah mereka; para pendahaga tadi. Air yang sanggup mereka dahagakan tadi, telah diganti dengan oasis kemenangan di depan mata, hingga tampillah kata-kata menang dari mulut mereka; Orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan menemui Allah berkata: "Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar."(Surah al-Baqarah [2]:249)

Lalu ALLAH pun membalas pengorbanan suci mereka; “Mereka (tentara Thalut) mengalahkan tentara Jalut dengan izin Allah dan (dalam peperangan itu) Daud membunuh Jalut, kemudian Allah memberikan kepadanya (Daud) pemerintahan dan hikmah, (sesudah meninggalnya Thalut) dan mengajarkan kepadanya apa yang dikehendaki-Nya. Seandainya Allah tidak menolak (keganasan) sebahagian manusia dengan sebahagian yang lain, pasti rusaklah bumi ini. Tetapi Allah mempunyai karunia (yang dicurahkan) atas semesta alam.” (Surah al-Baqarah [2]:251)

Belajarlah daripada mereka. Sesungguhnya kemenangan dan kejayaan itu akan terhidang, tatkala kita sudah siap menukarkan kedahagaan terhadap dunia, kepada kedahagaan terhadap akhirat. Dahaga terhadap air sungai, dengan dahaga terhadap kematian syahid nan mulia. Dahaga yang membasahi tekak, dengan dahaga memperjuangkan Islam lalu membawakan kemuliaan.

Maka adakah anda, wahai saudaraku, sudah bersedia men”dahagakan” diri anda dari kesibukan urusan dunia, untuk melepaskan “kedahagaan” itu dengan urusan di jalan ALLAH? Moga tergolong, bersama golongan yang sabar.

RUJUKAN

[1] Sayyid Quthb, “Tafsir fi Zhilalil Qur’an (Jilid II)”, Gema Insani Press (2000), ms. 181-183

Tuesday, July 10, 2007

Ciri-ciri muslim yang soleh (Part 1)

Ya Tuhanku, lapangkanlah dadaku
Dan mudahkanlah untukku urusanku
Dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku
Agar mereka mengerti perkataanku [1]
Lalu dengan mengertinya mereka akan perkataanku
Nur hidayah-Mu menderu laju
Mengairi relau-relau hati mereka
Lalu suburlah keimanan mereka
Hingga-hingga membuahkan pengorbanan di jalan agamu-Mu
Segala puji-pujian selayaknya milik ALLAH, yang pada-Nya kita pohonkan bimbingan, pada-Nya kita pintakan pertolongan, dan pada-Nya kita rayukan pengampunan. Setelah difasihkan lidah ini untuk berbicara pada manusia dan mengajak mereka kepada jalan-Nya, mempromosikan Islam pada manusia agar mereka berbondong-bondong kembali kepada-Nya, merungkai keajaiban alam sebagai tanda bukti kekuasaan dan keesaan-Nya, kita pohon pula perlindungan ALLAH dari kejahatan diri kita dan kebobrokan amal-amal kita. Jangan sampai dosa noda yang bersarang di dalam hati, atau cacat cela dalam amal yang menjadikan wujud suatu jarak dalam hubungan kita dengan Rabbul Izzati, kemudiannya menjadikan lidah nan fasih tadi sekadar mengeluarkan kata-kata yang enak didengar oleh indera telinga, namun sulit di telan oleh jiwa sanubari. Tapi biarlah hidayah-Mu ya Ilahi Rabbi, menjadikan bukan sekadar lidah nan berbicara, tapi kelapangan dada menggemakan bisikan hati, lalu bisikan-bisikan hati ini tidak lalu di corong telinga, melainkan terus ketemu “interaksi hati.” Lantas hiduplah hati-hati ini, dan sibuklah ia berkomunikasi, merealisasikan kata-kata “dunia tanpa sempadan.”

Saudara-saudari, mudah-mudahan dirahmati ALLAH.
Kalau andainya seseorang, yang sememangnya menjadi idaman dan pujaan sekelian orang, kemudiannya mencurahkan cintanya kepada kita, tentunya wajar tatkala kita juga, dengan rela tanpa paksa, turut memberikan sepenuhnya diri ini dalam mengembalikan kehangatan cintanya. Tatkala ia turut mengorbankan segalanya buat kita, tentunya wajar kita turut melakukan yang sedemikian rupa. Sedang ia setia menyebar kasihnya kepada kita, tanpa letih mahupun jemu, pastinya sebaran kasihnya kita sambut tanpa bosan mahupun lesu.

Maka sudah selayaknya, cinta sang kekasih bernama Muhammad Bin Abdullah; itulah Rasulullah SAW, mendapat balasan, penghargaan dan pengorbanan daripada kita semua. Sedang cinta manusia bersifat fana, sering dan pasti menemui titik jemunya. Selalu dan mesti berjumpa penghujung kehangatannya, cinta Rasul SAW telah melangkaui batas-batas kesementaraan ini, membawa sebuah pengabadian cinta. Kaki manakah yang sanggup andai kata, telah sampai di Sidratul Muntaha, yang merupakan puncak segala kenikmatan, puncak segala keindahan, puncak segala kesenangan, untuk berundur kembali ke dunia yang fana? Sedang yang menantinya di dunia, adalah kisah yang seratus peratusnya berbeza: hidangan sebuah kisah penuh sulit, duka dan derita. Hingga sang pujangga terkenal, syeikh Muhammad Iqbal pun berkata [2]; “Kalau saja aku adalah Muhammad,” kata Iqbal, “aku takkan turun kembali ke bumi setelah sampai di Sidratul Muntaha.”

Ya adik-adikku, pesona keteduhan di bawah naungan kasih sayang Ilahi Rabbi, terlalu berat dan terlalu enak untuk ditinggalkan, apa lagi untuk episod kehidupan penuh darah dan air mata di muka bumi. Dua kehidupan yang tak mungkin dapat kita bandingkan. Tapi, cintalah yang menggerakkan kakinya untuk turun ke bumi. Dan cinta jugalah yang menggerakkannya untuk mewarnai dunia dengan api cinta. Hingga saja, mereka yang ternyala dengan api cintanya, merasa keamanan dan kebahagiaan yang luar biasa. Hingga wajar saja, negara kuffar saja menemui khalifah Islam, meminta dinaungi oleh pentadbiran yang berlainan dengan agamanya!

Maka tentunya wajar, bahasa kita dengan diri Nabi (SAW), adalah bahasa cinta. Persis yang dinyatakan oleh Jalaluddin Rumi, “Bahasa yang dipahami bersama memang mendekatkan. Namun kebersamaan hati lebih baik daripada kebersamaan bahasa.” [3]

Lalu, bahasa cinta itulah yang meyakinkan kita akan setiap kata yang terbit dari lidahnya yang mulia. Carilah sebab keberadaanmu, melalui tutur kata junjungan kita yang mulia. Layarilah bahtera di lautan kehidupanmu, dengan berpandukan petunjuk dan bimbingan al-Mushtafa. Kerana salah anda dalam memahami sebab tujuan keberadaanmu, dan terkemudian tersilap dalam memilih jalan menuju destinasimu, menyebabkan diari kehidupanmu sentiasa teraba-raba akan definisi bahagia.

Masakan tidak? Andainya sang petani gagal memahami akan tugas dan fungsi kereta, dengan menyangkakan tujuan keberadaan kereta adalah untuk membajak sawah misalnya, bukan saja kereta yang akan punah, bahkan sawah ladangmu pasti membantut dan memandulkan hasil yang dicita idamkan. Semisalan itulah, apabila manusia gagal memahami tujuan, tugas dan fungsi keberadaannya di muka bumi, menyebabkan semua destinasi-destinasi bahagia, sekadar menjadi idaman di alam mimpi. Maka perhatikanlah akan apa tujuan, tugas dan fungsi keberadaan anda:-

Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.
(Surah adz-Dzariat [51]:56)

Mengabdi diri pada ALLAH, adalah tujuan anda. Lalu diri anda pun digunakan untuk menunaikan tugas seperti yang berikut:

Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi"…
(Surah al-Baqarah [2]:30)

Tatkala potensimu digunakan sebagai khalifah di muka bumi, anda pun berfungsi sebagai seorang Muslim, hingga membawa ke akhir hayatmu. Fungsi anda sebagai “duta islam”, hinggalah kepada expiry date keberadaanmu.

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.
(Surah ali Imran [3]:102)

Nah, bukankah ALLAH Azza Wa Jalla telah memerintahkanmu; walau apa pun terjadi, akhirilah hidupmu, seraya Muslim menjadi gelar agung yang memahat di namamu? Biar anda miskin nestapa, biar anda terpenjara menderita, biar anda lumpuh terseksa, asal anda Muslim nan setia, lalu keberadaanmu, bahkan kematianmu, mempunyai erti dan memenuhi sebab lahirnya dirimu di muka bumi.

Lalu bukanlah tersyarat agar dirimu menjadi doktor. Atau engineer. Atau usahawan. Atau menceburi alam pendidikan. Tetapi cita-cita yang harus tersemat jauh ke dalam dadamu, dan tergenggam erat dalam dakapan pendirianmu, adalah bagaimana bisa saya kekal wujud –bahkan mati- sebagai Muslim yang bakal diredhai? Kerana bukankah ini yang kita ikrarkan sehari-hari, tiap kali kita membuka solat kita dengan doa iftitah nan penuh pengertian?

Katakanlah: "Sesungguhnya salat, ibadah, hidup dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam,
(Surah al-An’am [6]:162)


Bersambung….

RUJUKAN

[1] al-Quran, Surah Toha [20]:25-28
[2] M. Anis Matta, “Pesona Sang Nabi” di dalam majalah “Tarbawi” Edisi 92 Th. 6/ Rajab 1425H/ 2 September 2004M
[3] Jalaluddin Rumi, Matsnawi I, 1205-7

Nota: Artikel ini adalah draf ucapan untuk ceramah motivasi bertajuk “Ciri-ciri Muslimah Solehah” pada 13 Julai 2007 Namun, saya akhirnya terpaksa menolak jemputan ini, lantaran saya harus memberikan APC Presentation berkenaan "Main Fuel Oul Pressure Control" pada hari yang sama. Apa pun, ciri-ciri Muslim yang soleh, pada saya, sudah cukup baik dijelaskan oleh as-syahid Hassan al-Banna, iaitu salimul aqidah, shahihul ibadah, matinul khuluq, etc.

Monday, July 09, 2007

Terms & Condition

Terms & Condition
Oleh: Engr. Faridul Farhan Abd Wahab "kerjaya kita adalah lahan da'wah"

Pasca keputusan mahkamah berhubung kes Lina Joy, masyarakat di Malaysia mula diselubungi kontroversi, dilema dan ketidak puas hatian. Di pihak umat Islam, kita bersyukur dengan keputusan itu. Bukan kerana i.c Azlina Jailani a.k.a. Lina Joy akan tetap tertera perkataan “Islam” –dangkal sekali bagi yang merasakan itu adalah sebuah “kemenangan”. Andai menang pun, we’ve just won the battle, not yet the war- tetapi kesyukuran kita ucapkan kerana posisi dan kedudukan Mahkamah Syariah kembali didaulatkan, dan hukum-hakam agama Islam sedikit sebanyak kembali dimuliakan.

Namun, di pihak non-Muslim, mereka berang yang teramat. Timbullah berbagai macam persoalan, diiringi beraneka jenis tohmahan. Antara lain yang paling kerap di dengar ialah “kenapa Islam tidak benarkan orang murtad?” “Orang dah tak suka Islam, kenapa you still mahu simpan?” “Kenapa Islam terlalu kejam hingga menghukum bunuh orang yang murtad?” dan soalan-soalan yang senada tapi se-tema yang lainnya.

Di sinilah silap kita. Kita sibuk meraikan keputusan mahkamah itu sebagai suatu “kemenangan”, hingga lupa tanggung jawab sebenar untuk menerangkan dan menjawab persoalan-persoalan yang timbul seputar isu murtad ini. Kita kembali “goyang kaki”, hingga tidak mempersiapkan jawapan-jawapan demi menjawab syubhat yang timbul berhubung kontroversi murtad ini. Pada kita –atau tepatnya sesetengah daripada kita- isu murtad ini bisa diselesaikan melalui hukum semata-mata, sedang peranan “dakwah” dilupakan sebegitu sahaja. Tanggungjawab menyelesaikan masalah murtad ini dipikul oleh penguasa semata-mata, seolah-olah setiap individu tidak lagi mempunyai peranan untuk turut sama memujuk dan mendakwahi orang murtad, beserta menjelaskan dan menerangkan kepada non-Muslim keindahan Islam.

Aneh, pihak yang menganggap bahawa hukum itu dapat menyelesaikan semua perkara, pihak yang sama jugalah yang berteriak dan bising tatkala ada pihak yang ingin mengembalikan hukum-hakam Islam menurut sumbernya yang sebenar. “Isu remeh!” “Memecah-belahkan umat” “Wahabi!” itulah yang dikatakan kepada orang-orang yang mahu kembali memartabatkan hukum Islam menurut panduan al-Quran dan sunnah, sedang dalam isu-isu lain seperti isu murtad ini, mereka jugalah yang membayangkan betapa “semuanya akan selesai jika ada hukum” “semuanya beres kalau ada Negara Islam!” Aduh, bagaimana bisa anda mengatakan penegakan Negara Islam dan hukum hudud bisa menyelesaikan semuanya, tanpa adanya peranan dakwah yang aktif di tengah-tengah masyarakat? Bagaimana boleh anda beranggapan hukum adalah jawapannya, sedang anda sendirilah yang melatah apabila hukum Islam benar-benar ingin dikembalikan kepada wajah asalnya?

Atas dasar itulah, saya yang dhaif ini cuba sedaya upaya saya untuk memikirkan jawapan-jawapan yang mungkin bisa kita berikan kepada mereka –para penanya- sehingga mereka dapat berpuas hati dengan apa yang telah Islam tentukan untuk umatnya. Biarpun sudah teramat sering pihak yang bergoyang kaki ini kembali meremehkan usaha ini, saya doakan mereka sedar dan turut sama membantu memikirkan dan menjelaskan kepada masyarakat, terutamanya non-Muslim, akan falsafah Islam dalam menentukan rights and limits dalam kehidupan manusia. Bukankah lebih baik kita memerah otak memikirkan cara untuk membela Islam, berbanding memerah keringat untuk mencari salah Mufti Perlis, atau ustaz Zaharuddin, atau lain-lain da’ie soleh yang mahu membela Islam?

Kenapa Islam Tidak Membenarkan Umatnya Murtad?

Menjawab persoalan ini, terlebih dahulu saya menyeru kepada para penanya, betapa anda harus memahami Islam dahulu, bermula dari basicnya, jika anda benar-benar inginkan jawapan yang memuaskan hati anda. Kerana jika kami dapat karangkan jawapan yang paling baik pun, huraian yang paling ilmiah pun, hujah yang paling logika pun, bukti yang paling utuh pun, sebab yang paling munasabah pun, anda tetap tidak akan berpuas hati dengan jawapan kami itu. Itulah sebabnya, sebelum berbicara isu Lina Joy dan teman seangkatannya, terlebih dahulu fahami Islam yang sebenarnya.

Jika anda tidak ada asas dalam bidang engineering, apatah lagi electrical engineering –yang menjadi bidang saya ini- misalnya, hatta rumus mudah V=IR pun anda tak pernah tahu dan tak pernah mahu tahu, mana mungkin anda dapat memahami falsafah-falsafah dan ilmu-ilmu electrical engineering yang lainnya. Itulah sebabnya, untuk memahami sesuatu ilmu, harus bermula dengan menguasai fundamentalnya. Begitu juga untuk memahami hukum Islam, harus anda tahu dasar agama ini dibina.

Setelah anda mengambil tahu tentang Islam, barulah lebih mudah untuk saya jelaskan kepada anda isu murtad ini.

Kenapa Orang Murtad Di Hukum?

Islam sepakat bahawa orang murtad itu harus di hukum. Apa hukumannya, sepengetahuan saya, masuh diperselisihkan oleh ulama’[1] tentang hukumannya, sama ada dibunuh, atau diletakkan di bawah undang-undang ta’zir. Maka, saya hanya akan sentuh tentang kenapa orang murtad harus dihukum.

Seorang pekerja sesebuah syarikat, sama ada kerajaan mahu pun swasta, tidak akan terlepas daripada peraturan. Atau, Terms and Condition (T&C). Demikian dia memulakan kerjayanya di sesebuah syarikat, demikian dia menandatangai surat perjanjian untuk mematuhi segala peraturan atau T&C syarikat terbabit, demikian itu dia sudah terikat kepada T&C syarikat tersebut. Pencemaran terhadap peraturan ini, mengakibatkan sesuatu hukuman telah tersedia untuknya.

Biasanya, sesebuah syarikat akan menyatakan dalam T&Cnya tentang peraturan seseorang pekerja yang mahu berehenti kerja. Anda harus memberikan notis berhenti lebih awal, misalnya 2 bulan notis atau 3 bulan notis misalnya. Ini adalah kerana, tempoh makluman anda melalui notis berhenti itu akan membantu majikan anda untuk beroleh masa yang cukup untuk mencari pengganti bagi posisi dan tugas-tugas yang bakal anda kosongkan kelak.

Itulah sebabnya, jika anda berhenti kerja serta merta tanpa memberikan notis 2 bulan tadi, anda bisa dihukum iaitu harus membayar ganti rugi kepada syarikat sebanyak 2 bulan gaji anda. Hal ini wajar, kerana dengan berhenti serta merta, anda telah meletakkan majikan anda di tempat yang sulit; terpaksa menanggung beban tugas anda tanpa sempat dia mencari pengganti. Peraturan ini dipraktikan oleh hampir semua majikan di serata dunia.

Maka, jika anda berhenti kerja, tapi tetap diburu oleh majikan anda, janganlah anda melenting melulu. Mari kita kaji kes anda. Tatkala majikan mengambil tindakan mahkamah menuntut ganti rugi daripada anda, bukanlah bererti majikan tidak mahu melepaskan “orang yang tidak berminat lagi” bekerja dengannya. Tetapi tentunya wajar anda dihukum, jika dalam proses anda berhenti itu, sebelum waktu anda berhenti itu, terlalu banyak kesalahan dan pelanggaran peraturan telah anda lakukan. Anda tidak berhenti melalui prosedur yang sepatutnya, iaitu memberikan notis 2 bulan berhenti misalnya. Anda melakukan kesalahan etika yang berulang di pejabat. Anda bukan sahaja berhenti tiba-tiba, bahkan dengan berambusnya anda dari pejabat anda, anda bawa sekali computer, kerusi dan peralatan-peralatan lain milik majikan yang diamanahkan kepada anda, tanpa izinnya. Dalam pada anda berhenti itu, anda rosakkan dan musnahkan semua dokumen dan software syarikat anda. Maka, wajar atau tidak anda dihukum oleh majikan anda? Ertinya, isunya bukan kerana majikan tidak mahu melepaskan pekerjanya yang tidak lagi berminat bekerja dengannya, tetapi anda memang harus dihukum kerana dalam pada anda berhenti, anda melakukan pelbagai jenis kesalahan sepanjang anda masih menjadi pekerja syarikat terbabit.

Nah, jika anda setuju dengan kes di atas, kenapa anda tidak boleh bersetuju tatkala Islam bertindak menghukum umatnya yang mahu keluar dari agama suci ini? Ertinya, dalam kes Lina Joy misalnya, bukanlah Islam mahu menghalang “pekerja yang tidak lagi berminat” untuk keluar, tapi soalnya, sepanjang dia menjadi orang Islam, dia melakukan pelbagai jenis kesalahan.

Mana mungkin seorang individu akan murtad, jika dia tidak melakukan kesalahan sepanjang dia bergelar seorang Muslim. Mungkin dia tidak solat, tidak puasa, membuka aurat dan sebagainya sepanjang dia bergelar Muslim, hingga dia bertindak dan berkeinginan untuk murtad. Lalu, kesalahan itu dilakukan tatkala dia masih dalam Islam, bukan setelah dia keluar daripada Islam.

Tentunya, dia murtad kerana dia tidak faham tentang Islam. Dan menjadi kesalahan dirinya kerana Islam menetapkan peraturan untuk belajar dan memahami Islam. Tatkala ilmu Islamnya dangkal sehingga tergamak ia keluar islam, itu sudah merupakan suatu kesalahan kerana ia tidak mahu belajar tentang Islam.

Pastinya, antara punca dia murtad kerana dia ragu tentang ALLAH, keraguan kerana sering mempersoalkan tentang ALLAH, seperti bagaimana rupa ALLAH, bagaimana mahu beriman kepada Tuhan yang tidak bisa dilihat, dan lain-lain persoalan seumpamanya. Itu pun satu kesalahan, kerana Islam –melalui lidah rasulnya- sudah memperingatkan supaya memikirkan tentang kejadian alam dan penciptaan makhluk, bukan memikirkan tentang dzat ALLAH SWT. Kerana jika anda mematuhi peraturan ini, mana mungkin akan timbul keraguan terhadap ALLAH Tuhan Semesta Alam. Adakah mesti hal yang kita tidak mampu lihat itu tidak wujud, sedang elektrik pun sehingga kini tak pernah bisa kita lihat. Namun, kita meyakini keberadaannya lewat kesan-kesannya. Nah, bukankah “kesan-kesan” kewujudan Tuhan sudah cukup jelas sehingga tidak wajar sama sekali wujud keraguan?

Mesti, dia murtad kerana mempersoalkan qada’ dan qadar ALLAH, mempermasalahkan ketentuan ALLAH, seperti si Hasnah Burdges suatu waktu dahulu. Bukankah ini satu kesalahan kerana Islam menyuruh umatnya sabar dan redha dalam menyikapi ketentuan Tuhan? Anda tidak pernah bising tatkala universiti “memaksa” anda memakai jubah untuk konvokesyen misalnya, kenapa anda boleh bising tatkala Tuhan memerintah kod etika berpakaian anda harus menutup aurat? Jika pakaian menutup aurat ala Islam yang anda permasalahkan, permasalahkan juga pakaian seragam sekolah, kenapa harus seragam, kenapa tidak bisa bebas apa sahaja? Permasalahkan juga pakaian pengangkap, kenapa harus pakai skaf, topi dan pakaian warna ungu mereka. Permasalahkan juga pemain-pemain Manchester United kerana semuanya memakai jersi Manchester United tatkala final piala F.A menentang Chelsea, sedang anda main bola petang-petang boleh saja pakai baju sesuka hati anda!

Anda tidak pernah pelik, tatkala seorang cashier tatkala mahu mengira barang-barang yang anda beli, menggunakan kaedah “tambah”. Kenapa tidak guna keadah Teorem Pithogoras, kebarangkalian, janjang atau yang lainnya. Tapi, anda sibuk mempermasalahkan kenapa Tuhan menggunakan “kaedah” yang menimpa anda –yang dipanggil takdir- sedang anda sendiri tidak memahami “rumus” disebalik ketentuan Tuhan itu.

Lihatlah dengan teliti, dengan kesalahan-kesalahan yang dilakukan Lina Joy ini, wajarkah Islam menghukumnya tatkala mahu keluar daripada agama Islam ini? Mana mungkin seseorang yang berkeinginan murtad itu tidak melakukan kesalahan-kesalahan, terutama kesalahan-kesalahan di atas, kerana jika anda mengambil tahu tentang Islam, mematuhinya dan menghayatinya, mana mungkin anda akan bertindak meninggalkan agama suci ini.

Maka itulah jawapan saya. Jika kita semua bersetuju pekerja yang melakukan kesalahan sebelum dia berhenti kerja, harus dihukum oleh majikannya dengan membayar ganti rugi atau disaman atau lain-lain keputusan majikannya, maka tidak sepatutnya kita tidak bersetuju tatkala Islam bertindak menghukum mereka yang murtad, sedang mereka telah melakukan pelbagai bentuk kesalahan dalam perjalanan mereka mahu murtad itu. Dan ingat, sebelum dihukum pun, Islam memberi peluang untuk mereka berdialog dengan tokohnya tentang sebarang keraguan yang timbul di dalam dirinya. Hanya keengkaran –dan keengkaran itu pun suatu kesalahan- dalam membuka hati dan membuka minda, yang akan memastikan mereka tetap berkeras untuk keluar daripada Islam. Ingat, Islam tidak pernah memaksa manusia untuk memasuki Islam, tapi once you dah masuk islam, you harus mematuhi T&C nya. Dengan berdisiplinnya anda, sudah barang tentu tak akan pernah timbul kekeliruan atau ketidak puas hatian dengan Islam, sehingga anda tergamak berpaling tadah daripadanya.


RUJUKAN

[1] Pendapat Ibrahim an-Nakhai’e berdasarkan huraian Sahibus Samahah Dr. Mohd Asri Zainul Abidin, Mufti Perlis Darus Sunnah, dalam ceramahnya di Taman Sri Ukay pada 12 Mav 2006. Wallahu a’lam, saya tidak kata saya bersetuju dengannya, namun Islam mengajarkan kepada kita untuk berlapang dada dalam menyikapi perbezaan di kalangan tokohnya/ ulamaknya.

Wednesday, July 04, 2007

SJ-01-0076 : Tauhid Mulkiyah/Hakimiyah. (1)

Ibnu Lutfi wrote:
kalau tuan syeikh masih ingat, kita dah pernah bahas dulu hal ni masa thread ttg gerakan kahfi...

berkenaan PKS;
1) Adakah PKS seperti jemaah2 yg apply tauhid mulkiyah yg lain iaitu mengkafirkan pemerintah?
2) Benar, PKS adalah suatu parti politik. Tapi manhaj mereka yg membahagikan tauhid kepada tauhid mulkiyah dibuat jauh sebelum wujud parti politik, jauh sebelum Suharto jatuh. Maka sangat tidak adil menuduh mereka buat tauhid mulkiyah atas alasan parti politik semata2
3) sebab pertanyaan ana memang khusus berkenaan PKS, alangkah baiknya jika syeikh thtl tunaikan apa yg syeikh thtl kata dlm thread gerakan kahfi dulu iaitu mengkaji dulu konsep tauhid mulkiyah PKS. Sebab menghukum mereka hanya dengan mengagak tauhid mulkiyah mereka sama saja spt gerakan takfir atau khawarij atau sebagainya, bukankah suatu yg sangat tidak adil?
4) Adakah PKS pernah mengkafirkan orang atau pemerintah? Lalu, jika tidak ada, apa sebenarnya konsep tauhid mulkiyah mereka?

Wallahu a'lam. Syeikh thtl sebagai orang yg rapat dgn ustaz dahlan, sepatutnya lebih mengenali hati budi ikhwah2 PKS ni, ye kan?

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
thtl replied:-
Menjawab ibn lutfi

1) PKS adalah parti yg diendorse oleh Ikhwan sebagai parti yang akan menerima sokongan dan bimbingan dari Mesir. Ia juga menerima restu dari al-Qardhawi untuk berperanan dalam skop demokrasi. Walaupun mereka menggunapakai tawhid Mulkiah tapi tidak sampai ketahap mengkafirkan pemerintah.

2) Tauhid Mulkiah yg dianuti oleh PKS adalah berasal dari pemikiran Syed Qutb (w. 1965). Doktrin tawhid hakimiah/mulkiah berada dalam Maalim fi Toriq dan tafsir al-Dzilal

3) PKS tidak termasuk dalam kategori parti ghuluw yang mentakfirkan pemerintah. Ia menyusuri manhaj politik Ikhwan Muslimin yang menerima proses demokrasi.

4) Tawhid Mulkiah mereka ialah supaya umat Islam betul-betul sedar akan keperluan mendirikan daulah dan khilafah serta menegakkan hukum Allah. Ini kerana jika mereka tidak berbuat demikian maka tawhid Mulkiah mereka akan rosak. Ia berdasarkan pemikiran Syed Qutb bukan Khawarij.

BERJABAT TANGAN LELAKI - PEREMPUAN

BERJABAT TANGAN LELAKI - PEREMPUAN

Alangkah indahnya di hari tu, andai naungan ALLAH menaungi kita. Di saat segala kepemilikan kita sudah tidak berguna. Di saat segala taulan-kanalan tidak mahu lagi bertegur sapa. Di saat “peperiksaan kehidupan” tidak mungkin diputarkan kembali waktunya. Di saat kita berhimpun untuk menghadap ALLAH, dengan qalbun saliim (hati yang bersih), berbekalkan amal-amalan kita.

Lalu, teriknya akan terasa redup, panasnya dihembusi dingin, kegelisahannya disalut ketenangan, tatkala naungan ALLAH Azza Wa Jalla mengiringi perhitungan.

“Ada tujuh golongan yang mendapat naungan ALLAH di hari yang tiada naungan melainkan naungan-Nya;
1- …….
2- …..
3- …..
4- ….
5- Seorang lelaki yang diajak bermaksiat oleh seorang wanita bangsawan dan cantik, namun ia berkata “sesungguhnya, saya takut pada ALLAH!”
6- ……
7- ……
(Hadith Riwayat Bukhari dan Muslim)

Mampukah kita segagah seorang Yusuf, tatkala digoda sang bangsawan seindah Zulaika? Gagahkah kita untuk menolak, atau menegaskan “inni akhaafuLLAH” (Sesungguhnya, saya takut pada ALLAH) tatkala “kebangsawanan” menyulitkan suasana? Semudah itukah menolak godaan sang cantik lagi jelita, sedang tatkala seorang wanita bertaraf bangsawan –mungkin saja bos kita, mungkin saja client kita- menghulurkan tangan untuk bersalaman, lalu kita pun tersungkur berbekalkan dharurat alasan?

Itulah diri kita, nyata sekali berbeza dengan Yusuf sang rupawan. Sedang huluran tangan saja tak bisa kita ketepikan, berjabat tangan berlawan jantina tak mampu kita nafikan, benar mampukah kita menolak godaan sang jelitawan, tatkala taraf “bangsawan” atau “kedudukan” menjadi semacam suatu beban yang tidak mungkin kita engkarkan?

“Sesungguhnya ditusuknya kepala salah seorang di antara kamu dengan jarum besi itu lebih baik daripada ia menyentuh wanita yang tidak halal baginya.”
(Riwayat Thabrani dan Baihaqi. Al-Mundziri berkata dalam “at-Targhib”: “perawi-perawi Thabrani adalah orang-orang terpercaya, perawi-perawi yang sahih”)

Huluran tangan pertama di saat perkenalan, pasti dituruti huluran tangan kedua di saat perpisahan, andainya anda tidak mampu menunjukkan sikap, lagi menjelaskan hukum-hakam pada mereka, agar mereka bisa memahami akan ketidak-bolehnya berjabat tangan antara lelaki dan perempuan. Lalu, dengan kefahaman itu, falsafah Islam di sebalik larangan itu, mudah-mudahan dapat difahami oleh mereka, hingga kelak jelas akan keindahan, kebijaksanaan dan kesempurnaan Islam dalam menjadi “cara dan system hidup” bukan hanya untuk umat Islam, bahkan untuk umat manusia sejagat.

Tapi, semuanya harus bermula dari kita. Keberanian kita dalam menunjukkan sikap. Kebijaksanaan kita dalam menjelaskan sikap kita itu. Dan doa kita moga petunjuk ALLAH akan dapat dialirkan dalam diri sang wanita itu, agar ia bisa memahami betapa kita menolak (untuk menjabat tangan) bukan kerana tidak menghormatinya, bahkan kerana menolak berjabat tangan dengan bukan Muhrim itu saja sudah merupakan sebuah kehormatan. Kehormatan apa yang lebih tinggi yang bisa kita berikan, jika bukan kehormatan dalam memuliakan setiap bahagian tubuhnya untuk hanya dirasmikan dan dirasai oleh seorang bergelar suami? Hingga kita bukan saja menyelamatkan “keperawaan” fizikalnya, bahkan juga “keperawaan” kehormatannya.

Terpulanglah pada anda. Jika anda merasakan dharurat itu tidak bisa dielakkan hingga tetap harus berjabat tangan –lantaran wanita itu mungkin bos anda, client anda, dan sebagainya, yang semuanya membawa kepada kesimpulan “wanita berkedudukan” atau “wanita bangsawan”- saya sudah tidak boleh lagi berkata apa-apa. Namun, saya berdoa pada ALLAH moga dikurniakan kekuatan dan keistiqamahan dalam menentukan sikap, dan terus kemaruk kepada naungan ALLAH di Mahsyar kelak.

“Sesungguhnya dunia itu manis dan hijau (indah), dan sesungguhnya ALLAH menguasakan kepada kalian untuk mengelola yang ada di dalamnya, kemudian ALLAH mengawasi apa yang kalian perbuat. Maka bertaqwalah kepada ALLAH menyangkut dunia dan wanita (yakni waspadalah terhadap fitnag wanita), kerana bencana yang pertama kali menimpa Bani Isra’il adalah kerana wanita.”
(Hadith riwayat Muslim. Penerangan di dalam kurungan adalah syarah Dr. Mushthafa al-Bugha terhadap kitab Riyadhus Shalihin Imam Nawawi di dalam bukunya Nuzhatul Muttaqin)

----------------------------------------------------------------------------------------------




From: Faridul Farhan [faridul@jimahev.com]


Sent: Thursday, June 28, 2007 10:46 AM


To: 'pamela.shea


Subject: Apology and Clarification

Dear Mrs. Pamela, I whish you a good day and a happy living.

First of all I would like to represent my colleagues -as well as my self- to express our appreciation and gratitude to you and your staff for your warm welcome, cooperation and wonderful dinner, during our inspection at your company yesterday.

The reason I am writing you this email is to apologize if I hurt your feelings yesterday, because I didn’t greet your hand for a handshake when you introduce yourself to me. However, I hope you can kindly hear my explanation on why did I not shake hands with you, so that you will understand that the reason is not because I dis-respect you, not at all, in fact it is because I respect you so much until I don’t think of shaking hands with you.

As a Muslim, we are thought by our Prophet to respect human beings, especially woman. Until, when one of his companions asked him to whom we should give our love, respect and honour to, the Prophet replied; “to your mother”. The companion added, “and then who?” the Prophet replied again “your mother!”, and then the companion asked “and then who?” the Prophet replied “your mother!”, and the companion asked again “and then who?” and the Prophet answered “your father!” This means the status of a woman in Islam is highly respected, until our top respect, love and loyalty should go to our mother, mother, mother and then only our father. Meaning a woman is 3 times greater than a man! Huge respect indeed!

Also, we believe that all women are noble and sacred persons. In Christian for example, the nuns are the ones who are placed at a noble and sacred position, until they have their own special “sacred clothes”, and they live in a special place far from men because their nobleness and pureness in guarded from ever be seen by a man. Such much similar, Islam also believes that all of our woman should be noble and sacred people, until all Muslim women should wear the “sacred clothes” (if you look at a true Muslim woman’s dress, isn’t it quite similar to a nun? See how Islam place their woman in a very high position similar to Christian place their most noble woman which are nuns), also they should always take care of their selves from men. Therefore, in doing so, a Muslim woman should only be touch by her husband or her family. That is why I didn’t shake hands with you.

We believe your beautiful, noble and glorious hands should only be “authorized” to the best person, and that should be your husband. If you have a car, a brand new Mercedes for instance, surely you would not let anybody use and drive your car except for certain persons like your husband and family. Now then, we believe that your honour and dignity is far more precious than a Mercedes car. Therefore, if a Mercedes can only be used by authorized persons, far surely your beautiful and lovely hands should only be touch by your love ones. That is an honour I am giving you, my fullest respect in regarding yourself, and any other woman as respected and priceless women, who can only be relish by a husband.

With this explanation, I hope I have clarified what happen yesterday, and hopefully you will not be upset by my actions. My actions are an act of respectfulness to you, so hopefully you would not see it the other way.

Send my warmest regards to your family and your helpful colleagues. Thank you again for your hospitality.




Thank you.

"The believers, in their love, mercy, and kindness to one another are like a body: if any part of it is ill, the whole body shares its sleeplessness and fever" -Prophet Muhammad (P.B.U.H.)

Best Regards,
Faridul Farhan Abd Wahab
Electrical Engineer
Jimah O&M Sdn. Bhd.
2 x 700MW Coal Fired Power Plant Project
PT 7308 & PT 7309,
Mukim Jimah, Daerah Port Dickson,
Negeri Sembilan Darul Khusus.
(Tel: 06-658 1158/ 06-658 1149 Ext: 1090)
Email:
faridul@jimahev.com
visit http://www.harunyahya.com




------------------------------------------------------------------------------------------------


From: pamela.shea


Sent: Monday, July 02, 2007 6:29 PM


To: Faridul Farhan


Subject: Re: Apology and Clarification



Dear En Faridul,




Thank you very much for you explanation. I am a Malaysian too, so I truly understand your actions for not shaking my hand & I respect your religion. There was no hard feeling at all.




In fact, I am very happy to meet you & your team of very friendly & cheerful gentlemens. I look forward to working with everyone of them.




Best regards,


Pamela Shea

Ukhwah.com :: Top Blog